Suaka-ke-rohingya

Masalah krisis kemanusiaan yang melanda Rohingya saat ini bukan lagi menjadi urusan interal Myanmar semata. Terdamparnya Rohingya di Aceh beberapa bulan lalu setidaknya telah menjadi pemantik baru kesadaran dunia bahwa Rohingya merupakan masalah yang pelik. Tak hanya menjadi tanggung jawab regional ASEAN, namun pula telah menjadi pemikiran bersama Instansi internasional. Ada masalah diskriminasi, penindasan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia ekstrem yang telah terjadi di Rakhine, tanah area Rohingya lahir dan menetap sejak beberapa generasi.

Sejak Mei lalu, seribu tujuh ratus lebih etnis Rohingnya diselamatkan oleh penangkap ikan Aceh di dekat perairan Kuala Langsa, Aceh. Pasca kejadian fenomenal itu, pemerintah Malaysia dan Indonesiaserta sepakat memberikan penampungan sementara sewaktu lebih kurang satu tahun bagi ribuan imigran Rohingya.

Tapi sekarang ini, sepertinya penampungan sementara tersebut hanya menjadi kebijakan awal yang tak jelas kemana akan berakhirnya. Pasalnya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Sosial jugabelum mengatahui pasti akan dipindah kemana kasus Rohingya ini pasca satu tahun ke depan.

Padahal masyarakat Indonesia, khususnya warga Aceh sepertinya telah menyamakan opini dan menggalang dukungan untuk menyambung perjuangan membantu seribu lebih etnis Rohingya yangberada di Aceh dengan memberikannya status yg yakni Penduduk Negara Indonesia.

Dalam urusan status penduduk negara, ratusan ribu etnis Rohingya yang terombang ambing di lautan selagi berbulan-bulan setelah melarikan diri dari Rakhine bakal digolongkan yang merupakanPengungsi. UNHCR atau Dinas pengungsian di bawah bendera PBB menuturkan pengungsi yg yakni sesorang yang karena oleh ketakukan yang beralasan bakal penganiayaan, yang disebabkan oleh beda ras, agama, kebangsaan, keaggotaan kelompok sosial tertentu dan keanggotaan parta politik tertentu, berada di luar Negara kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari Negara tersebut.

Diwaktu satu orang pengungsi meinggalkan negara asalnya seperti kasus Rohingya, mereka meninggalkan sebagian gede hidup, rumah, kepemilikan dan keluarganya. Rohingya jelas tak mendapatiperlindungan dan hak-hak kemanusiaan dari negara asalnya, Myanmar. Dikarenakan itu mereka terpaksa meninggalkan negaranya. Akhirnya perlindungan dan bantuan terhadap mereka menjaditanggung jawab komunitas internasional.

Pertanyaannya selanjutnya, apakah pemerintah Indonesia dapat memberikan status perlindungan penuh kepada ribuan etnis Rohingya di Aceh?

Masalah menjadi makin rumit saat nyatanya, Indonesia dalam urusan pengungsi global belum menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, Protokol 1967, dan konvensi lain yang terkait, merupakanKonvensi tentang Status Orang tanpa Kewarganegaraan (Statelessness) 1954 dan Konvensi 1961 tentang Pengurangan Keadaan tak dgn Kewarganegaraan (The Reduction of Statelessness).

Karena beraneka ragam macam pertimbangan, terutama akibat poin-poin hukum yang terus belum jelas dan multitafsir, akihirnya Indonesia tak pernah memendatangani konvensi tersebut. Sepertiyang didapati, Konvensi Pengungsi PBB ialah instrumen hukum yang diakui bersama trik internasional untuk melindungi para Pengungsi. Hingga hari ini, di Kawasan ASEAN hanya ada Filipina (1981) danKamboja (1992) yang pernah meratifikasi Konvensi tersebut.

Layak ditunggu dan dikawal, mampu diboyong kemana-kah status ribuan pengungsi yang saat ini telah dirawat dan ditampung dengan amat sangat baik di beberapa lokasi di Aceh? Mereka ditempatkandi sebelah Integrated Community Shelter atau penampungan permanen yang dibuatkan warga Aceh dan serta Dinas Kemanusiaan Aksi Serentak Tanggap.

Semoga ada informasi paling baik yang dihasilkan untuk kesempatan dan nasib sekian banyak orang Rohingya di seluruhnya Kawasan ASEAN. (ijl)

Sumber